Japan International Cooperation Agency
Share
  • 日本語
  • English
  • Français
  • Espanol
  • Home
  • About JICA
  • News & Features
  • Countries & Regions
  • Our Work
  • Publications
  • Investor Relations

Bahan

Untuk Mendorong Reformasi

Sesi Tanya-Jawab

Kesimpulan = Untuk Mendorong Reformasi

Memperluas (PDF/85KB)


Pertanyaan dari Bapak RIdwan Joharmawan – UM

Bagaimana menentukan sebuah mata pelajaran mana yang substantial dan yang bukan? Karena seringkali guru-guru kita masih belum tahu mana yang inti dan bukan. Karena terasa pembelajaran begitu ringan dan mudah.

Masalah learning community yang sangat sulit adalah bagaimana dorongan kepada masyarakat untuk membantu sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran? Khususnya kepada komite sekolah

Kurang begitu memahami bagaimana konteks pendidikan di Shanghai dan Finlandia. Dimana Shanghai saat ini lebih baik daripada Finlandia? Karena selama ini saya lihat di survey-survey di dunia, Finlandia itu masih nomor satu dalam kualitas pendidikan. Apakah betul itu karena jumlah populasi kelas di Finlandia lebih sedikit?

Jawaban dari Manabu Sato :

Terima kasih, pertanyaannya sangat menarik semua.

Sulit menentukan mana yang substansi dan tidak. Sebetulnya betul sekali dan mengalami hal yang sama. Sebetulnya bukan masalah guru, tapi masalah buku pelajarannya. Mungkin itu baik di Indonesia maupun di Jepang, buku pelajarannya saat itu terlalu mudah, kurang menantang. Karena itu kurang jelas mana batasan inti dalam pelajaran. Jadi kalau hanya guru saja yang tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Tapi harus bekerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi. Jadi tidak hanya reformasi sekolah secara internal saja tapi harus ada koordinasi Perguruan Tinggi atau pihak pemerintahnya. Tidak hanya reformasi guru yang diperlukan, tapi materi-materinya juga harus direformasi.

Tanpa adanya dukungan dari masyarakat sekitar, reformasi sekolah tidak akan berhasil, Dan itu tidak mudah. Sekolah sendiri bisa melakukan reformasi dari dalam. Tapi tanpa adanya dukungan dari pihak luar, tidak bisa berlangsung lama. Jadi bagaimana mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar, ada 2 poin yang harus kita ingat. Pertama, apa yang dilakukan di Jepang adalah mendapatkan pengertian dan dukungan dari komite pendidikan setempat. Jadi setiap sekolah Jepang yang sudah menerapkan komunitas pembelajaran, sudah ada pengertian dan dukungan dari komite pendidikan atau ketua komite. Kedua, kita harus menjamin dan membuka diri untuk orang tua dan masyarakat. Jadi jika kita minta dukungan dan pengertian dari masyarakat atau orang tua hanya melalui penjelasan, tidak mungkin terjadi kerjasamanya. Jadi harus mengajak partisipasi mereka secara langsung.

Prestasi Shanghai dan Finlandia, menurut saya sendiri kualitas pendidikan itu masih jauh unggul di Finlandia. Tapi di Shanghai nilai ujiannya yang sangat unggul. Jumlah anak-anak yang kurang paham, jauh lebih sedikit. Tapi banyak hal yang kita dapat pelajari di Shanghai. Bisa menjadi inspirasi kita semua. Di Shanghai bisa berhasil karena pembelajaran kolaboratif sudah terbiasa di setiap sekolah. Kalau sekolah di Shanghai sangat memperhatikan anak-anak yang kurang paham pembelajarannya. Namun tetap mengajar pembelajaran yang lebih tinggi. Itu yang harus kita pelajari.

Pertanyaan dari Ibu Sarjiyem – SMPN 1 Banguntapan

Saya telah bertemu dengan Manabu Sato tahun 2008. Mulai Januari 2008 sudah melaksanakan LS. Temuan-temuan yang saat ini adalah adanya kejenuhan teman-teman. Tetapi hasilnya secara pasti kalau bisa kami sampaikan bahwa saat 2006-2007 di tingkat kabupaten dari 111 sebagai quality control itu hasil UNAS nomor 13 di kabupaten. Dan di propinsi no. 44. 2007-2008, kabupaten no. 9, propinsi no 39. 2008-2009, kabupaten no. 7, propinsi 35. 2009-2010, kabupaten no. 6, propinsi no. 34. 2010-2011, kabupaten no 5, propinsi no. 23 yang sangat signifikan. 2011-2012, kabupaten no. 5, propinsi 21. Untuk itu tingkat kejujuran untuk propinsi tetap terkendali. Kendala yang kita hadapi di lapangan, kejenuhan-kejenuhan para peserta. Bagaimana menumbuhkembangkan bapak/ibu guru dalam mengembangkan LS yang tidak hanya sekedar kebutuhan pribadi dan sekedar melaksanakan tugas?

Jawaban dari Manabu Sato :

Senang sekali mendengarkan hasilnya.Yang penting adalah setiap wilayah adalah sekolah percontohan bagi sekolah-sekolah lain. Pertama, bangun 1 dulu, baru ditularkan ke sekolah-sekolah lain.

Contohnya saja, saya gagal 1000 kali dan makan waktu 15 tahun. Dalam 15 tahun, saya susah payah membangun SD kemudian disusul oleh Mr. Masaaki Sato yang membangun SMP dan baru bisa menularkan ke sekolah-sekolah lain. Tidak hanya di Jepang, tapi sekarang kegiatan ini menular ke seluruh dunia termasuk negara-negara Asia. Jadi yang penting adalah kita memperhatikan secara intensif pada satu sekolah percontohan yang benar-benar mau dibangun dan harus kita dukung secara berkesinambungan., harus menjaga kelangsungannya. Dan kalau kita mau berlangsung lama secara berkesinambungan pasti akan ada kendala atau kejenuhan di suatu saat. Jadi menjaga kelangsungan itu mau tidak mau kita harus menghadapi berbagai kesulitan daripada tahap awal membangun sekolah. Dan untuk mengatasi kejenuhan atau kendala tersebut, ada 2 hal yang harus kita ingat. Pertama, kita harus kembali ke titik awal kalau menghadapi kendala. Jangan sampai puas disitu, jangan anggap ini sudah selesai atau sudah bisa. Jadi setiap tahun mulai dari titik awal lagi. Kita mulai dari awal terus selama-lamanya. Tapi bersamaan dengan itu, kita tidak boleh disitu-situ saja maksudnya meningkatkan kualitas atau levelnya . Jadi setiap tahun harus meningkatkan unsur yang lebih menantang. Tidak ada cara lain untuk kelangsungan. Mudah-mudahan berhasil

Pertanyaan dari Bapak Enjang Ali Nurdin – UPI

Ketika saya simak dari penjelasan seolah-olah materi di kelas yang lebih tinggi diajarkan pada ke kelas yang lebih rendah adalah dispekdis sebuah hal yang baik kalo menurut pemaparan. Bahkan rekomendasi dari bapak/ibu regulasi dari kurikulum itu diperbolehkan untuk membentuk pembelajaran yang baik.

Bagaimana tanggapan/saran Bapak dalam peran ICT dalam pembentukan learning community dalam rangka upaya membuat lompatan-lompatan atau tantangan-tantangan?

Jawaban dari Manabu Sato

Memang kalau menyusun kurikulum harus memasukkan unsur-unsur yang levelnya lebih tinggi atau ada tantangannya, itu sangat penting sekali. Jadi kalau istilah kita harus ada lompatannya, itu berdasarkan teori Vigotsy. Jadi pengembangan/perkembangan anak itu ada 2 fase. Pertama, level suatu sekolah yang bisa diselesaikan dengan sendiri. Dan level berikutnya adalah adanya dukungan dan bantuan dari teman-teman atau suatu alat. Jadi kita tidak boleh membawa pengajaran sesuai dengan levelnya anak2. Jadi tidak boleh membawa level anak-anak, harus membawa level pembelajaran yang lebih tinggi dimana soal itu bisa diselesaikan jika ada bantuan dari alat atau teman. Dan komunikasi pembelajaran itu bisa mewujudkan pelajaran seperti itu. Jadi pemikiran atau yang dimiliki oleh teman-temannya itu sebagai batu loncatan untuk melangkah ke depan. Oleh karena itu proses pembelajaran itu memungkinkan anak lebih tinggi levelnya. Tapi kalau materi/pelajarannya terlalu mudah, tantangan/loncatan itu tidak terjadi. Jadi tolong diingat 2 hal. Pertama, suatu soal yang bisa diselesaikan dengan sendiri. Ada soal atau mata pelajaran yang bisa diselesaikan kalau ada suatu bantuan dan kita harus mengajari sesuatu yang ada di atas ini.

Bagaimana pemanfaatan ICT dalam mewujudkan komunitas pembelajaran? Tidak ada suatu hal khusus mengenai kaitan ICT sebetulnya. Tapi ICT pasti ada gunannya. Harus kita perhatikan hal-hal tertentu kalau kita mau memanfaatkan ICT dalam komunitas pembelajaran. Justru di negara-negara maju, pendidikan berbasis ICT itu tidak aktif. Amerika, Eropa, Jepang dan lainnya hampir semuanya tidak menerapkan pendidikan ICT. Negara-negara berkembang saja yang menerapkan ICT. Sebenarnya ICT itu sudah menjadi suatu pasar. Apa yang dikembangkan di negara maju, dijual ke negara-negara berkembang. Itu seperti jaman penjajahan. Jadi pemanfaatan itu harus sedemikian rupa , jangan dipermainkan apalagi menjadi korban penjajahan.

PAGE TOP

Copyright © Japan International Cooperation Agency