Japan International Cooperation Agency
Share
  • 日本語
  • English
  • Français
  • Espanol
  • Home
  • About JICA
  • News & Features
  • Countries & Regions
  • Our Work
  • Publications
  • Investor Relations

Project News

2013-11-11

-Notulensi-
Project Meeting
Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystems in Conservation Areas
Senin, 11 Nopember 2013, Hotel Djayakarta Daira, Palembang

KATA SAMBUTAN

Bapak Tatang (Kepala Balai Taman Nasional Sembilang)

Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Conservation Areas adalah proyek kerjasama antara Kementrian Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA) - Indonesia Office yang ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2010, di 5 taman nasional yaitu: TN Sembilang, TN Ciremai, TN Gunung Merapi, TN Bromo Tengger Semeru dan TN Manupeu Tanadaru.

Tujuan dari proyek JICA RECA adalah untuk penguatan kapasitas stakeholder yang terkait dengan kegiatan restorasi ekosistem di areal yang terdegradasi di kawasan konservasi (5 lokasi TN). Output yang diharapkan dari kegiatan proyek ini adalah:

  1. Penyusunan panduan teknis kegiatan restorasi di 5 taman nasional,
  2. Perencanaan dan penerapan kegiatan restorasi di 5 taman nasional, dan
  3. Terbangunnya kolaborasi dengan multi stakeholder, termasuk pihak swasta.

Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Conservation Areas di 5 Taman Nasional berjangka waktu 5 tahun (April 2010 s/d Maret 2015). Khusus TN Sembilang, areal restorasi adalah kawasan mangrove yang terdegradasi dengan target restorasi seluas 200 ha.

Proyek JICA RECA pada saat ini memasuki tahun ke-3. Secara umum kegitan-kegiatan yang telah dilaksanakan, antara lain:

  1. Penanaman ujicoba restorasi di 5 lokasi taman nasional berikut pemeliharaannya,
  2. Penyusunan draft panduan teknis kegiatan restorasi di 5 taman nasional,
  3. Penyusunan draf buku panduan tumbuhan restorasi, dan
  4. Membangun kerjasama dengan stakeholder terkait.

Khusus di TN Sembilang, perlu kami informasikan, bahwa hingga Maret 2013 target restorasi 200 ha tersebut telah berhasil direalisasikan seluas 150,75 ha. dengan rincian 38 ha natural regeneration, 20 ha enrichment planting dan 92,75 ha new planting. Untuk periode April 2013 s/d Maret 2014 ditargetkan penanaman seluas 50 ha pada areal ujicoba sebanyak 14 jenis mangrove dan areal non ujicoba sebanyak 7 jenis.

Sampai dengan Oktober 2013, selain dilakukan aktivitas uji coba tanaman restorasi, kami mencatat pula beberapa kegiatan lain yang terkait dan mendukung project restorasi di TN Sembilang, diantaranya pelatihan dan studi banding bagi staf dan working group, pembangunan pondok kerja, pembuatan sumur bor di sekitar pondok kerja sebagai sumber air tawar, pembangunan persemaian permanen (0,5 ha sebanyak 1 unit), pembangunan dermaga dan jembatan dari muara ke pondok kerja sepanjang 1,012 km, pembangunan arboretum di sekitar pondok kerja seluas 2,7 ha dengan panjang jembatan interpretasi 600 meter dan dilengkapi dengan papan informasi dan plat nama (saat ini masih dalam tahap pengerjaan).

Kami mengharapkan pelaksanaan proyek untuk tahun anggaran April 2013 s/d Maret 2014 lebih bersinergi dan mendukung rencana pengelolaan jangka panjang ke-5 taman nasional yang menjadi site project restorasi. Khususnya dalam mendukung pengembangan ekowisata, ilmu pengetahuan, pendidikan, penelitian, dan budidaya.

Kiranya seluruh output pelaksanaan kegiatan proyek restorasi ini dapat dikemas secara komprehensif dan dikembangkan sebagai data-base. Sehingga melalui database ini Taman Nasional yang terlibat dalam project ini akan dapat mengambil tindakan management secara tepat dalam konteks restorasi dan pemulihan ekosistem.

Project Meeting pada hari ini merupakan salah satu instrumen atau alat evaluasi dalam implementasi project JICA restorasi yang rutin dilakukan pada setiap tahun anggarannya. Oleh karenanya kami berharap ada input yang konstruktif dari para hadirin sekalian guna menyempurnaan pelaksanaan proyek ini ke depan agar dapat optimal memberikan multiflier effect dan benefit sharing untuk semua pihak.

Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi khususnya kepada JICA-RECA atas kontribusinya dalam pemulihan ekosistem kawasan taman nasional. Semoga proyek JICA RECA dapat berkesinambungan, berjalan secara efektif dan efesien serta menjadi proyek percontohan untuk pelaksanaan restorasi di kawasan konservasi.

SEKSI I

Moderator: Bapak Zulkifli Ibnu

Presentasi:

  1. Perkembangan Kegiatan Project JICA-RECA 2010-2013 (Bapak Darsono)
  2. Perkembangan Kegiatan di 5 TN dan laporan Hasil Uji Coba Pembibitan dari Biji
    2.1 FM Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (Bapak Andi)
    2.2 FM Taman Nasional gunung Merapi (Bapak Sulis)
    2.3 FM Taman Nasional Sembilang (Bapak Slamet Riyadi)
    2.4 FM Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (Bapak Mathen)
    2.5 FM Taman Nasional Gunung Ciremai (Bapak Nurhadi)
  3. Laporan Pelatihan Pembibitan dari Bibit (Mr. Hiroaki Okabe)

Diskusi I

Bapak Jefry Susyafrianto (DKKBHL)

Di TNBTS terjadi Frost yang menyebabkan 12.000 tanaman mati di persemaian. Pada tahun ke-4 rencana uji coba restorasi seluas 60 Ha. Dari pengalaman sebelumnya, bagaimana dengan langkah selanjutnya atau tanaman apa yang cocok untuk menghadapi Frost selanjutnya?.

Perlu identifikasi jenis tumbuhan apa yang ada sebelum terjadi degradasi, dan kenapa harus direstorasi (apakah karena degradasi, kebakaran atau sebagainya) sehingga menjadi sulit tumbuh kembali.

Untuk semua TN dari pengalaman selama ini, dari beberapa jenis tanaman yang telah diujicobakan, kita sudah dapat mengetahui jenis tanaman apa saja yang paling cocok.

Untuk lokasi TNS, ada lokasi untuk penanaman biasa dan penelitian. Di lokasi penanaman, hanya 7 jenis yang dilakukan penanaman karena bisa survive. Pada vegetasi mangrove kita perlu memperhatikan zonasi, karena tanaman mangrove akan mati apabila berada pada lokasi bukan tempat tumbuhnya.

Bapak Dulhadi (Kepala Balai TNGC)

Pada tahun ke-5, yang disampaiakan Pak Darsono adalah hanya tinggal pemeliharaan dan penyusunan pedoman, dan laporan akhir. Pelatihan-pelatihan sebaiknya ditinjau kembali.

Lima Taman Nasional sudah mempersiapkan lokasi persemaian. Bibit siap tanam sebaiknya dipisahkan dengan bibit yang masih disemai agar presentasi hidup bisa lebih tinggi.

Diharapkan kita memperbanyak kegiatan sosialisasi dengan working group (WG), dan pada akhir tahun ini kegiatan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sehingga apabila proyek JICA sudah selesai, kita tetap bisa melanjutkan kegiatan restorasi.

Dalam wilayah konservasi kita tidak diperbolehkan menggunakan bahan kimia, tetapi kita tidak bisa menghindari bahan kimia. Contohnya di TNBTS, tidak hanya es, tetapi kandungan belerang dalam es sehingga menyebabkan kematian. Bagaimana cara menetralisir belerang?.

Di TNGM karena kawah sudah besar, dan eropsi kecil, sehingga semburan akan terjadi 10-15 tahun. Untuk lokasi penanaman, sebaiknya menghindari lokasi-lokasi yang extrim.

Bapak Andi Iskandar (JICA Field Manager TNBTS)

Di TNBTS, Ekosistem sebelumnya di lokasi penelitian adalah alang-alang dan tempat pengembalaan kambing. Saya tidak tahu kenapa memilih lokasi di sana, karena saya baru masuk pada tahun 2012. Pada tahun 1980/ 1990 TNBTS melakukan penanaman jenis cemara. Ada beberapa titik yang tidak terkena Frost.

Kenapa JICA memelih lokasi extrim untuk melakukan uji coba? Di TNGM media di wilayah uji coba adalah batu bertanah (bukan tanah berbatu)/ pasir bertanah.

Dalam literatur, jenis tanaman yang tahan terhadap Frost adalah jenis kesek (Dodonaea viscosa), tetapi di TNBTS tanaman ini dengan ketinggian yang sudah mencapai 2 meter juga bisa kering pada saat terjadi frost. Tetapi Kita belum tau apakah tanaman ini hanya kering dan bisa tumbuh kembali atau mati.

Frost yang terjadi pada tahun ini lebih hebat dibandingkan dengan Frost yang terjadi pada tahun kemaren. Tahun kemaren beberapa jenis mati, tetapi kemudian bertunas kembali dari bawah/akar.

Berkaitan dengan pemilihan jenis, kita tidak bisa melakukan penanaman jenis klimaks, kita perlu melakukan penanaman jenis pioneer. Tanaman yang paling tahan hingga saat ini adalah jenis supliran (Sambucus javanica). Contohnya pada hamparan edelwijs (Anaphalis viscida), tanaman edelwijs mati tetapi supliran dapat bertahan hidup. Selain itu ada jenis yang bisa tahan, antara lain hiperikum (Hypericum leschenaultii), dan pakis (Cyatea sp). Sebelum tanaman lain ditanam sebaiknya tanaman-tanaman yang tahan ini ditanami terlebihdahulu.

Lokasi lain (60 Ha) tidak terkena Frost dan diperkirakan berhasil. Sedangkan lokasi yang terkena Frost adalah lokasi yang dijadikan lokasi penelitian, dikhawatirkan kita akan kehilangan data pengamatan. 10.000 tanaman di lokasi persemian mati akibat Frost, hal ini diluar perkiraan kita karena lokasi pembibitan diprediksikan adalah lokasi yang bebas dari Frost.

Ibu Fariana (Kepala Bidang Teknis Konservasi TNBTS)

Restorasi di Ranupane sebenarnya diutamakan untuk mengatasi sedimentasi/ pendangkalan yg disebabkan oleh masyarakat sekitar, dan diimbangi dengan penanaman dan mengatasi salvinia. Dari sejarah, wilayah ini sebenarnya tidak boleh ditanami. Sejarah lokasi sangat penting untuk melakukan restorasi.

Areal Rob tawin (areal yang tingkat serangan frost yang tinggi) biasanya digunakan untuk kegiatan ceremonial karena tidak mesti diharapkan bisa tumbuh 100%. Lokasi ceremonial yaitu lokasi yang strategis dan mudah untuk dijangkau, sedangkan lokasi penanaman adalah lokasi yang aman.

Hasil diskusi dengan Bapak Edhi Sandra, IPB dan pak Miyakawa, Frost menyerang permukaan daun, sehingga menyebabkan kekeringan, jadi dari pendekatan dari fisiologi pohon/tumbuhan sehingga dicari jenis yang kandungan minyaknya banyak. Kami akan upayakan melakukan penanaman dengan jenis asli setempat yang kandungan minyaknya bayak.

Bapak Darsono (JICA National consultant)

Kegiatannya pada tahun ke-5 adalah pemeliharaan. Pada tahun 2014 diharapkan semua sudah ditanam, sehingga kita lebih fokus untuk melakukan penulisan pedoman yang harus diserahkan pada akhir proyek. Akhir tahun ini bisa dicermati lebih bnayak, sehingga pedoman yang dihasilkan dari beberapa uji coba yang telah dilakukan untuk memperkuat teknis apa yang harus diterapkan pada kasus-kasus tertentu. Dari pengalaman selama ini banyak hal yang banyak ditemukan, contoh di TNS, ada tambahan jenis yang yang ditemukan. Guide book diharapkan selesai pada bulan Desember.

Jenis yang ditanam adalah jenis yang ada di sekitar hutan utuh yang terdekat. Dari kendala yang ada, akan ada jenis-jenis yang diprioritaskan utuk penanaman. Dalam lima tahun ini, kita memprioritaskan jenis-jenis pioneer dan berusaha untuk menyertakan jenis-jenis klimaks. Walaupun jenis klimaks ini tumbuh tidak cepat, tapi kita usahakan hidup dan menyerupai hutan di sekitar.

Sampai saat ini Kita sudah menjadwalkan pertemuan dengan WG, tetapi perlu dimodifikasi cara pertemuannnya (kualitas) menjadi lebih baik.

Mr. Hiroaki Okabe (JICA Short Term Expert)

Dalam presentasi, tentang media polybag (tanah, pasir, pupuk) pada setiap site berbeda. Kita bisa menggunakan media yang tersedia di masing-masing site.

Untuk penyiraman, dalam polybag terlalu banyak memberikan air, sehingga akar keluar dari polybag. Tolong perhatikan waktu penyiraman dan kuantitas penyiraman. Perhatikan media tanah dalam polybag, apabila kering baru diberikan air.

Bapak Heru Rahardjo (Kepala Balai TNMT)

Krinyu (Euphatorium odoratum) kalau dibakar maka kalorinya tinggi, sehingga kita bisa menggunakan media yang dicampur dengan krinyu untuk pupuk atau dibuat mulsa, maka kita bisa mengendalikan Frost. Diharapkan kita tidak hanya menanam jenis krinyu, perlu tanaman jenis lain juga untuk penanaman.

SEKSI II

Moderator : Bapak Darsono (JICA National Consultant)

Presentasi :

  1. Kemajuan Project Selama 5 Bulan, Juni-oktober (Mr. Hideki Miyakawa)
  2. Draft Guide Book (Ibu Desitarani)
  3. Contoh Kegiatan Restorasi Hutan Alam Bekerjasama dengan Warga Setempat di Jepang (Mr. Hiroyuki Saito)
  4. Laporan Counterpart Training di Jepang (Ibu Fariana)

Diskusi II

Ibu Pujiati (DKKBHL)

Saya setuju dengan presentasi Ibu Desi mengenai falisidasi data tumbuhan untuk kehidupan satwa liar. Kita ketahui bahwa restorasi yaitu mengembalikan ekosistem ke kondisi awal/ mendekati, termasuk satwanya. Dalam baseline survey perlu diketahui spesies kunci dari ekosistem tersebut, sehingga kita bisa mengetahui jenis tumbuhan apa yang bisa mendukung kehidupan satwa. Di TNMTD, Bapak Marthen sudah mengidentifikasi jenis-jenis burung endemik dan langka di sana, dan untuk restorasi menanam jenis-jenis pakan burung tersebut.

Pak Jefry mengatakan, restorasi tidak hanya menanan, tapi kita perlu menyediakan kondisi untuk menunjang kehidupan satwa baik alami atau buatan seperti tempat berkubang dan lain-lain.

Bapak Joko Priyono (Kepala Seksi SPTN II Boyolali TNGM)

Bapak Miyakawa: Dalam sistem penanaman, kita melakukan sistem jalur, piringan, cemplongan, dan sebagaianya, diharapkan dapat dirincikan dalam pedoman.

Mengenai standar biaya, pada draft dulu selisih antar tingkat adalah sekitar 3 juta, sekarang selisih antar tingkat sebaiknya disamakan seperti yang dulu. Contoh biaya distribusi bibit pada tinggat 2 (ketinggian 1.000-2.000) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat 1 (ketinggian 1.000).

Hasil dari pedoman sebaiknya diujicobakan di beberapa Taman Nasional, dan kemudian dievaluasi kembali sehingga proyek ini tidak selesai pada tahun 2015, dan terus dilanjutkan.

Mr. Hiroyuki Saito (JICA Project Coordinator)

Dari kegiatan conterpart training, apakah yang paling terkenang?

Dari presentasi Ibu Fariana, dalam kegiatan restorasi, apa saja yang bisa diterapkan di Indonesia?

Mr. Hideki Miyakawa (JICA Chief Advisor)

Ibu Puji : Keberadaan Fauna sangat penting, sehingga kita harus membandingkan jenis fauna yang ada pada saat sebelum dan setelah pelaksanaan restorasi. Kita bisa melakukan survei melalui Metode Transek Jalur satwa untuk mengetahui jenis satwa termasuk mamalia, burung, serangga. Tetapi kita tidak bisa menghitung jumlah dari setiap jenis karena sulit.

Bapak Joko : Sistem penanaman dalam pedoman tata cara lebih rinci akan dijelaskan di dalam pedoman teknik. Bila ada saran bisa diskusi lagi dalam pedoman teknik. Dan terkait biaya, kita bisa diskusikan kembali.

Kami berharap setelah proyek selesai, Kemenhut dapat menyebarluaskan hasil proyek dari 5 TN ke seluruh TN di Indonesia berdasarkan pedoman tata cara dan pedoman teknis.

Ibu Desitarani (JICA Technical Assistant)

Ibu Puji : Kami berencana akan fokus untuk validasi data, pemeliharaan, dan capacity building, pada tahun 2014. Selain itu, kami juga berencana untuk melakukan pelatihan dan bekerjasama dengan LIPI.

Di TNMTD, pada lokasi obyek wisata terdapat beberapa label jenis pohon, tetapi pada label jenis, banyak yang tidak sesuai dengan jenis pohon yang ada. Pengetahuan terhadap jenis tumbuhan sangat penting karena sangat erat kaitannya dengan pengelolaan suatu kawasan seperti pengelolaan habitat satwaliar dan lainnya.

Bapak Jefry Susyafrianto (Kasubdit KPA dan TB)

Kami diperlihatkan bagaimana membuat restorasi ekosistem, yaitu membangun, merefilitasi sebuah kawasan yang hancur karena Tsunami. ada program baru (pembuatan Taman Nasional) bertepatan dengan hancurnya kawasan tersebut.

Kami juga diberitahukan alasan mengapa saat ini ada penanaman jenis berdaun lebar pada daerah pinggiran pantai. Pada lokasi tersebut, panjang akar jenis tanaman berdaun kecil (pohon pinus) hanya < 1.5 meter. Hal ini dikarenakan ada air asin di kedalaman > 1.5 meter. Sehingga pada saat diserang ombak banyak pohon yang rubuh. Maka dari itu, ada strategi penanaman dengan menggunakan jenis berdaun lebar dengan cara tanah ditinggikan agar akar bisa tumbuh panjang.

Selain itu, masyarakat terlibat dalam proses restorasi, sehingga terlihat sebuah kepedulian, kedisiplinan, dan kecintaan kepada alam. Bahwa kalau kita ingin berbuat sesuatu, pasti bisa dilakukan.

Di Jepang ada undang-undang tentang taman wisata alam, yaitu membangun TN berdasarkan pemandangan yang bagus dan indah. Sedangkan di Indonesia, kita menggunakan UU 5 No.1990 tentang keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, sehingga TN dibentuk berdasarkan jumlah spesies dan jenisnya. Mungkin suatu saat kita bisa membuat undang-undang taman wisata alam seperti di Jepang.

Di Jepang, TN dikelola oleh lingkungan hidup, sementara kehutanan hanya penyedia dan membuat kebijakan. TN di jepang juga bisa dimiliki oleh swasta dan bisa dieksploitasi dengan ketentuan yang ada. Sedangkan di Indonesia, TN adalah milik Negara.

Terkait pedoman restorasi ekosistem di kawasan konservasi, kami belum mendapat hasil diskusi yang terakhir dengan masing-masing UPT, dan hanya mendapatkan pedoman draft-1. Prinsipnya restorasi tidak hanya menanam, bisa dengan penebangan, contoh di Baluran dengan menebang akasia, sehingga Merapai juga bisa dilakukan dengan penebangan akasia.

Bagaimana kriteria restorasi dalam penetapan pola restorasi?. Suksesi alami adalah 600 batang/ Ha. 600 batang ini apakah kita menanam atau tumbuhan yang ada di lapangan, sehingga kita mendapatkan kriteria tersebut dan melakukan pola suksesi alami. Atau apabila ditemukan 200-400 batang, kita melakukan pengkayaan. Atau kita mengkriteriakan masing-masing pohon, batang, pancang semai, dan kemudian kita menentukan pola restorasi. Hal-hal seperti ini yang harus kita dapatkan sebelum kita melakukan sebuah tindakan.

Kelembagaan juga penting, seperti UPT, FM, Pokja. Kita harus tegaskan dalam restorasi ada peran masyarakat. "hutan lestari, masyarakat sejahterah".

Bapak Hideki Miyakawa (JICA Chief Advisor)

Kita lebih baik melakukan diskusi tentang draft pedoman di awal Desember, karerna kita berencana menyusun draf pedoman sebelum di akahir Desember. Seminar Restorasi akan dilaksanakan pada awal bulan Februari, pada saat itu kita akan bagikan draft pedoman kepada peserta. Sebelum itu kita perlu melakukan diskusi 1-2 kali dengan peserta yang sama seperti peserta pada saat ini.

Pada kriteria pola restorasi, kami memilih pola yang paling cocok. Di lapangan jarak tanam ada 3 jenis, pola jarak tanam 5x5, jarak terlalu lebar sehingga tajuk pohon akan tertutup 10 tahun kemudian. Pola jarak tanam 3x3, tajuk pohon cepat tertutup, tetapi biaya 2 kali lebih besar. Sehingga kami memilih pola dengan jarak tanam 4x4 (600 batang/ Ha).

Pada saat survei awal, kita menghitung jumlah tumbuhan berkayu tertinggal (tinggi > 30 cm), jenis semai/ bibit kecil tidak dihitung, karena tidak ada jaminan untuk dapat hidup.

Bapak Jefry Susyafrianto (Kasubdit KPA & TB)

Dalam ekologi hutan, semai harus lebih banyak dari pada pohon, hal ini berarti peluang hidupnya akan lebih banyak. Bila bentuknya acak-acakan (pohon tua lebih banyak dari pada semai) pasti ada spesies yang hilang karena regenerasi yang tidak ada. Dalam restorasi kita mencari jumlah tanaman semai yang banyak, dan hal ini yang harus kita cari/ kombinasikan, sehingga setelah beberapa tahun, kita dapat menghitung jumlah semai, pancang, tiang, dan pohon. Pada posisi stabil, jumlah semai harus lebih banyak dibandingkan paying lain.

Bapak Tatang (Kepala Balai TNS)

Pada penetapan pola restorasi, yang dimaksud kriteria penanaman < 200 Ha adalah jumlah pohon tertinggal (tinggi > 30 cm) sekitar 0-200 batang, sedangkan pola pengkayaan dilakukan apabila jumlah pohon tertinggal sekitar 200-400 batang. Jarak tanam 4x4 merupakan jarak tanam yang paling efektif, sehingga pada pola penanaman, dalam 1 Ha kita akan menanam sebanyak 600 batang pada lokasi yang memiliki pohon tertinggal sebanyak 0-200 batang/ Ha.

Selama ini hanya menghitung tumbuhan yang tingginya lebih dari 30 cm, alangkah baiknya kalau kita juga mempertimbangkan semai, batang, dan tiang juga.

Ibu Fariana (Kepala Bidang Teknis Konservasi TNBTS)

Restorasi tidak hanya menanam, di TNBTS pada awalnya adalah restorasi danau, dari awal sudah dilakukan upaya-upaya yang sifatnya prefentif. Upaya FM dan kawan-kawan membuat penahan di sana bisa dicatat sebagai bahan juknis. Sedangkan kegiatan yang lain merupakan kegiatan pendukung. Pada rapat di sini tidak dibicarakan, tapi akan dibahas di kesempatan yag lain.

Pola restorasi yang ada pada draft pedoman hanya mengenai penanaman di beberapa ekosistem, sedangkan restorasi danau sudah dilaksanakan bagaimanapun hasilnya, sehingga sebaiknya juga dipublikasikan.

Bapak Hideki Miyakwa (JICA Chief Advisor)

Pak Tatang: penentuan pola restorasi adalah apabila dalam 1 Ha jumlah pohon tertinggal > 600 maka suksesi alami, 400-200, maka pengkayaan, dan <200, maka penanaman. Apabila jumlah pohon tertinggal ada 100 batang, maka kita menggunakan pola penanaman dan hanya menambahkan 500 batang, sehingga jumlah 600 batang. Kalau penanaman dengan jarak tanam 4x4, kita menanam 600 batang, sehingga totalnya ada 700 batang. Walaupun jumlahnya lebih dari 600, saya setuju dengan pola ini, karena jumlahnya lebih banyak dan lebih baik.

Untuk sedimentasi, dalam uji coba restorasi, kita melakukan banyak kegiatan. Pedoman teknis untuk pengendalian sedimentasi tidak bisa masuk dalam pedoman restorasi, hal ini dikarenakan judulnya adalah Pedoman restorasi hutan di areal terdegradasi. Mungkin kita bisa membuat buku lain atau dijadikan lampiran. Selain itu pedoman pengendalian invasive spesies juga akan didiskusikan kembali.

Bapak Darsono (JICA National Consultant)

Tadinya memang akan kita kita bedakan pohon, semai, dan sebagainya. Tetapi alasan kenapa kita hanya menghitung tumbuhan yang tingginya > 30 karena dianggap bisa survive. Alasan kenapa hanya 600 batang/Ha karena dianggap tajuknya bisa tertutup. Di mangrove kita menggunakan pedoman yang sudah ditetapkan oleh Lingkungan Hidup, yaitu bila populasi mangrove < 1.000 maka hutan mangrove dianggap rusak, sehingga kita menggunakan pola penanaman 1.000/ Ha. Jumlah pohon yang dihitung adalah pohon tumbuhan asli. Bila ada tumbuhan exotic maka perlu direstorasi, cara restorasi seperti apa, itu yang akan ditindaklanjuti dalam pedoman. Beda RHL dengan restorasi adalah restorasi memperhatikan jenis, terutama jenis kunci (untuk pakan satawa).

Bapak Dulhadi (Kepala Balai TNGC)

Untuk guide book, deskripsinya bisa ditambah dengan ditemukan di mana saja, dan lain-lain. Untuk foto, sebaiknya seragam dan antar jenis satu dengan jenis yang lain.

PENUTUPAN

Bapak Jefry Susyafrianto

Teman-teman di lapangan sudah berusaha keras, ada beberapa kendala dan rencana yang harus dilakukan untuk tiga bulan kedepan. Oleh karena itu kami bersyukur Bapak dan Ibu masih semangat untuk menjalankan kegiatan di JICA-RECA. Bapak Ibu sekalian, sebelum Saya menutup, Saya ucapkan terimaksih kepada tuan rumah, yaitu Kepala Balai Taman Nasional Sembilang, Bapak Tatang dan kepada Bapak Miyakawa yang terus mendampingi diskusi kita, serta timnya.

PhotoProject Meeting

PhotoPeserta Excursion di Taman Nasional Sembilang

PAGE TOP

Copyright © Japan International Cooperation Agency