Japan International Cooperation Agency
Share
  • 日本語
  • English
  • Français
  • Espanol
  • Home
  • About JICA
  • News & Features
  • Countries & Regions
  • Our Work
  • Publications
  • Investor Relations

Bahan

Masyarakat dan Pendidikan di Abad ke-21

Masyarakat dan Pendidikan di Abad ke-21

Memperluas (PDF/93KB)

Saya mulai melakukan reformasi pembelajaran melalui Learning Community sekitar 20 tahun yang lalu. Reformasi itu dilaksanakan dengan metode/cara seperti apa atau apakah metode tersebut berhasil? Hal itulah yang akan saya jelaskan kepada Bapak/Ibu.

Sebagaimana sudah diketahui dalam abad ke 21 ini sudah berubah total baik masyarakat maupun dunia pendidikannya. Sekolah yang kami paham sampai saat ini sudah terbentuk sejak abad ke 19 dalam rangka pengembangan pendidikan anak dan juga mendorong industrialisasi. Jadi awalnya sekolah itu dibentuk untuk mendukung pembentuk masyarakat madani dan juga industrialisasi namun sejak tahun 1989 dimana sejak Jerman sudah bersatu tiba-tiba mulai era globalisasi sampai saat ini. Dan sejak dimulainya globalisasi pasar di dunia itu mulai jadi satu sejalan dengan kapitalisme yang berjalan dan sudah dimulai di Amerika Utara, Eropa dan Amerika Timur sudah ada gejala-gejala seperti itu. Kalau negara-negara Asia belum menjadi satu karena terjadi keanekaragaman budaya dan suku, namun pada suatu saat akan terjadi seperti di negara barat. Jadi negara/pasar akan menjadi satu dan mungkin mata uang akan menjadi satu. Jadi kalau jaman dulu pasar itu per negaranya tapi saat ini karena adanya globalisasi, suatu kesatuan komunikasi akan menjadi luas.

Jadi prinsip/filosofi yang berlaku di sekolah harus ada perubahannya. Dan satu lagi prinsip yang didasari dalam tuntutan sekolah jaman dulu yaitu industrialisasi sudah mengalami perubahan. Negara-negara maju seperti Jepang sudah tidak mengalami era indutrialisasi tapi sudah mengalami paska industirialisasi. Saya sendiri lahir pada tahun 1951. Pada saat saya lahir, pasar tenaga kerja kebanyakan masih petani. Waktu saya masih menjadi siswa SD, SMP, SMA, Jepang sudah mengalami industrialisasi seperti Indonesia alami saat ini. Pada saat itu sekitar 75% pasar kerja ditempati oleh pekerja di pabrik. Sekarang bagaimana? Sekarang ini karyawan/buruh pabrik hanya sekitar 20% di pasar tenaga kerja. Petani hanya 8% di pasar kerja. Masyarakat sudah berubah total. Menurut analisa OECD, 10 tahun yang akan datang, Jepang mengalami pasar kerja yang sangat berubah. Mungkin buruh di pabrik dibawah 8%. Dalam era industrialisasi pasar kerja berupa bentuk yang mudah. Di puncak piramida hanya segelintir orang yang memiliki intelektual yang tinggi. Sebagian besar merupakan buruh kasar atau yang kurang rapi. Namun kalau sudah mengalami perubahan menjadi era paska industrialisasi, buruh kasar atau yang kurang terampil sudah pindah ke pasar negara lain. Seperti negara-negara berkembang. Jadi kebutuhan di pasar kerja berubah total bentuknya. Dari puncaknya yang kecil menjadi makin banyak dibutuhkan banyak pekerjaan seperti itu. Perubahan seperti itu sudah terjadi di Jepang selama 1992-2002 (10 tahun). Contohnya pada tahun 1992, lowongan lulusan SMA 1,65 juta. 10 tahun kemudian di 2002 lowongan lulusan SMA menjadi hanya 157 orang. Jadi sekitar 98% lowongan kerja atau kesempatan kerja bagi mereka hilang. Jadi kalau hanya sekedar lulusan SMA saja sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Harus meningkatkan terus pendidikan selama-lamanya. Jadi masyarakat sekarang ini berbasis dengan intelektual atau dengan pengetahuan tinggi yang semakin rumit dan komplek. Jadi masyarakat itu berdasarkan informasi intelektualitas mencakup dibidang finance/keuangan atau bidang-bidang jasa seperti pendidikan, medis dan kesejahteraan. Jadi bidang seperti ini yang semakin dibutuhkan. Fenomena seperti itu sudah terjadi di hampir semua negara yang masuk di OECD yang terdiri dari 34 negara. Jadi masyarakat sangat berubah tentunya sekolah harus diikuti perubahan tersebut. Jadi sekolah dijadikan suatu tempat untuk belajar untuk kebutuhan selama-lamanya. Jadi kita harus belajar selama-lamanya sepanjang hidup. Sekolah harus dijadikan suatu tempat mengajari dasar-dasar yang dibutuhkan.

Sebagaimana diketahui Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia saat ini. Pertumbuhan Indonesia sangat pesat dilihat dari angka tahun lalu yaitu sekitar 16,8% pertumbuhan ekonominya. Bapak/Ibu tahu pertumbuhan ekonomi di Jepang tahun lalu berapa persen? Minus 0.75%. Tapi itu bukan suatu fenomena yang aneh di dunia ini. Di negara-negara maju pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, rata-rata 1-3%. Jadi kalau sudah melewati masa industrialisasi, suatu negara itu pasti mengalami pertumbuhan yang sangat rendah. Kalau melihat percepatan pertumbuhan Indonesia saat ini bisa diperkirakan 10-15 tahun yang akan datang, Indonesia akan mengalami era paska industrialisasi. Jadi kita harus mengantisipasi masa yang akan datang. Siswa-siswa saat ini pasti mengalami era paska industrialisasi.

Kalau begitu apa yang harus kita antisipasi dalam abad 21, ada 4 poin. Ini merupakan ciri khas kurikulum pendidikan nasional yang ada di 34 negara anggota OCD. Negara-negara OCD sudah menyusun kebijakan pendidikannya berdasarkan berikut ini.

Pertama, mengantisipasi masyarakat yang berbasis pengetahuan. Kita harus mendapatkan kemampuan bagaimana memberdayakan kapasitas yang kita miliki. Maksudnya tidak hanya mendapatkan pengetahuannya saja tapi memanfaatkan dan mengaplikasikan apa yang kita dapat. Dalam hal ini setiap negara menitikberatkan beberapa poin. 1. Kreatifitas atau daya eksplorasi atau kemampuan komunikasi dalam hal ini harus diutamakan.

Kita harus mengantisipasi masyarakat yang terdapat berbagai budaya atau keanekaragaman yang harus kita hargai. Tapi menurut saya Indonesia sebetulnya dari dulu merupakan masyarakat yang terdapat keanekaragaman budaya, suku, bahasa dan sebagainya. Seperti yang kita ketahui, Eropa tidak seperti di Indonesia. Tidak terdapat berbagai budaya. Tapi di negara-negara Eropa seperti itu sedang mengalami perubahan dimana terdapat berbagai aneka budaya dan keanekaragaman. Coba kita lihat ke London sekitar 75% penduduk ternyata dari luar. Italia atau Finlandia itu tadinya hanya 1 suku saja tapi negara seperti itupun sekitar 15% itu imigran atau pendatang dari luar. Beberapa negara sudah berhasil merespon perubahan seperti, Finlandia, Australia dan sebagainya. Dan juga Canada, juga terdapat berbagai suku dan bangsa. Jadi kalau jaman dulu keanekaragaman itu merupakan suatu kendala dalam mempromosikan/mengembangkan pendidikan. Tapi justru jaman sekarang keanekaragaman bisa mendorong kualitas pendidikan.

Dan ketiga, kita juga masih bisa mengantisipasi masyarakat yang terdapat kesenjangan. Sebagaimana sudah diketahui globalisasi juga ada sisi negatifnya. Memperluas kesenjangan sosial atau kesempatan pendidikan. Jadi di negara maju pun salah satu tantangannya adalah bagaimana menjamin hak-hak anak untuk belajar. Contohnya apa yang terjadi di Jepang. Jaman dulu tidak adanya kesenjangan sosial Namun berdasarkan hasil survey OCD pada tahun 2005, kita diposisikan 5 terburuk dalam hal ada/tidak adanya kesenjangan sosial. Berdasarkan OCD, perhitungan penduduk miskin itu hanya memiliki rata-rata penghasilan penduduk. Berdasarkan perhitungan tersebut yang terburuk, mulai dari Turki, Meksiko, Amerika dan Jepang. Dengan demikian sekitar 15.7% dianggap penduduk miskin. Kalau melihat kota besar seperti Tokyo dan Osaka, sekitar 30% dianggap miskin. Suatu wilayah tertentu di Tokyo sekitar 60% penduduknya dianggap miskin. Kalau untuk orang seumur saya setiap orang percaya namanya pasti manusia mendapatkan jodoh, punya pasangan, punya anak. Yakin dalam pola seperti itu. Tapi kalau sekarang, umur 40 tahunan sepertiganya belum kawin. Dan sepertiga berkali-kali menikah. Dan sisanya lagi hanya sekali. Jadi bentuk atau pola berubah drastis. Dalam hal ini yang paling penting adalah siapa yang memperhatikan anak-anak dan setiap yang menjamin hak-hak anak untuk belajar.

Dan poin ke empat adalah kita harus mengantisipasi atau merespon masyarakat madani yang semakin matang. Hal ini dikatakan sebagai peradaban. Semakin memasuki era globalisasi, setiap negara memikirkan hal ini. Kalau jaman dulu, pendidikan hanya memikirkan rakyat secara nasionalnya saja. Sekarang sudah tidak ada batas lagi. Masyarakat madani yang saya maksud ada 3 arti. Pertama, kita sebagai masyarakat global atau regional Asia misalnya. Kedua, kita sebagai warga negaranya. Ketiga sebagai masyarakat global atau setempat. Kita mengikuti 3 definisi tersebut. Jadi globalisasi sudah menghapuskan berbagai batasan-batasan yang ada di kita. Batasan negara atau lainnya. Kita harus memasuki masyarakat madani. Dan dalam hal ini kita harus terbuka untuk semua pihak. Tadi kalau gejala/fenomena ini dibiarkan begitu saja, individualism/ego saja yang bertemu. Kalau kita biarkan persaingan egonya yang bertemu dan menimbulkan berbagai macam masalah. Contohnya, Amerika banyak masalah. Apa-apa dituntut ke pengadilan. Kalau itu terjadi, pengacara saja yang kaya raya. Karena kita harus bersaing terus dengan berbagai pihak dan menjadi stres. Semakin lama harus bergantung dengan konselor. Dengan demikian moral publik juga makin hancur. Demokrasi tidak berfungsi kalau terjadin fenomena seperti itu. Dengan demikian kita hanya mau bergaul dengan sesamanya saja yang sepikiran atau prinsipnya saja. Jadi banyak kelompok yang prinsipnya sama saja yang bergaul. Dalam masyarakat seperti ini yang penting adalah : Pertama, moral umum/publik sangat penting. Demokrasi harus kita jaga. Jangan selalu bergantung dengan konselor atau psikis. Tapi juga saling mendukung atau bekerjasama melakukan kolaborasi. Memasuki abad 20, ilmuwan mendefinisikan ulang istilah capital atau modal. Kalau modal ekonomi seperti yang Bapak/Ibu tahu maksudnya adalah uang. Kalau human capital=sumber daya manusia. Ada juga culture capital atau sumber daya yang berdasarkan pendidikan/kebudayaan. Tapi selain sumber daya atau modal yang akan dimiliki negara-negara yang berhasil dalam ekonomi sudah tahu/memperhatikan ada satu lagi capital yang harus kita punya, yaitu social capital atau modal sosial. Coba kita lihat negara-negara yang sukses dalam arti ekonomi saat ini semuanya memiliki modal sosial tersebut. Maksudnya hubungan antar manusia atau interaksinya. Ada tidaknya kerjasama/kolaborasi atau komunikasi seperti apa. Ada ilmuwan terkemuka dari Universitas Harvard, Robert Pattimann mengemukakan bahwa negara-negara yang sukses itu memiliki kunci yang mutlak yaitu modal sosial itu. Yaitu memiliki interaksi di masyarakat, ada kerjasama dan kolaborasi di masyarakat. Saya rasa pendapat itu sangat tepat sekali. Namun Amerika Serikat sendiri pada kenyataannya hancur juga ekonominya, karena individualismenya atau terlalu masing-masing urusannya. Ada bukunya yang berjudul Bowling Alone. Tapi kita coba membayangkan main bowling sendiri tidak lucu. Tapi kalau kita melihat tempat bermain bowling di Amerika dibuat sedemikian rupa bisa main sendirian.

Sekolah di Abad ke-21

Memperluas (PDF/92KB)

Jadi sejalan dengan perubahan masyarakat, sekolah juga tentu mengalami perubahan. Sampai sekarang saya sudah keliling dunia. Sudah menempuh 22 negara dan melihat lebih dari 500 sekolah di seluruh dunia. Apalagi bertambah menjadi 24 karena Indonesia. Dan saya sudah mengamati banyak sekolah dan mendapat suatu kesimpulan kesuksesan sekolah di abad 21 itu seperti apa.

Kata kuncinya adalah kualitas dan kesetaraan. Jika 2 hal itu diwujudkan, bisa berhasil. Ada juga sekolah yang mengikuti kualitasnya tapi tidak mengikuti kesetaraan. Contoh tipikalnya di Jerman, Mereka mencetak siswa elitnya saja. Namun pendidikan di Jerman yang mengejar elitnya itu masih kurang unggul dibandingkan dengan sekolah di FInlandia yang mengajar kesetaraan. Contoh di Asia bisa kita lihat di Korea Selatan. Mereka mencetak sekolah elit selama 20 tahun terakhir ini. Tapi gagal total. Jadi seberat apapun kita mengejar kualitas kalau tidak diikuti kesetaraan, akhirnya gagal. Begitu juga sebaliknya. Contohnya Italia, Spanyol dan Meksiko. Mereka memang mengajar dengan tuntas kesetaraannya tapi sayangnya kualitas tidak diikuti. Begitu juga gagal. Jadi pendidikan yang bisa meningkatkan kualitas kesetaraan secara bersamaan pasti berhasil. Jadi salah satu filosofi dalam komunitas pembelajaran adalah 2 unsur tadi. Kita harus memikirkan bagaimana menjamin pendidikan yang berkualitas untuk semua orang, Kita melihat pendidikan pada abad ke 21, ada beberapa ciri khasnya. Salah satunya program, yang tadinya berbasis program berubah menjadi berbasis proyek. Kalau kita melihat pendidikan pada abad ke 19 dan 20 ibarat pabrik produksi yang lain produknya. Jadi produksi massa yang mengajar efektivitas secara massal. Benar-benar sasaran atau target pendidikan, obyektif pendidikan. Dulu saya sempat cari tahu istilah obyektifitas pendidikan itu sejak kapan kita pakai? Pertama kali digunakan pada tahun 1911 di Chicago. Pada saat itu Amerika Serikat sedang banyak membangun pabrik yang besar-besar. Seperti perkiraan saya. Maksudnya educational objective itu dipindah istilahnya dari pabrik yang ada sasaran target produksi yang dialihkan ke dunia pendidikan. Pertama pabrik itu ada target produksinya dan proses itu diefisiensikan, lalu melakukan quality control. Kalau di dunia pendidikan artinya melakukan ujian. Mr. Bobbit yang mengembangkan metode tersebut disana. Menyebut guru sebagai insinyur pendidikan dan kepala sekolah disebut kepala pabrik. Dan kepala di bindang pendidikan disebut sebagai direktur utama. Jadi mencetak sekolah seperti mencetak pabrik-pabrik pada saat itu. Mestinya sekarang tidak seperti itu lagi. Tapi pendidikan harus berdasarkan dengan proyek. Jadi kalau dulu berbasis program ibarat naik tangga satu persatu. Tapi sekarang ibarat mendaki gunung, jalurnya tidak 1, tapi bisa memutar-mutar atau membelok sambil melakukan eksplorasi dan untuk melihat hasil output itu di jaman dulu, kita melakukan ujian. Jadi sekarang menilai dengan laporannya.

Yang lebih pentingnya lagi adalah pembelajaran bersifat kolaboratif. Jaman dulu siswa duduk manis dikelas menghadap guru dan melihat papan tulis atau pegang buku. Pola pendidikan seperti itu sudah dimuseumkan di negara-negara maju. Jadi dikelas sekarang melakukan kolaborasi atau berkelompok. Tapi pola pendidikan di kelas itu tentu masih ada di negara-negara berkembang. Saya rasa Indonesia saat ini mengalami masa transisi. Jadi reformasi pendidikan di Indonesia ini masih ada polanya dan semakin lama beralih ke bentuk kelompok. Sejalan dengan perubahan tersebut, peran dan fungsi guru juga berubah. Guru juga tadinya sebagai ahli mengajar menjadi ahli pembelajaran.

PAGE TOP

Copyright © Japan International Cooperation Agency