Japan International Cooperation Agency
Share
  • 日本語
  • English
  • Français
  • Espanol
  • Home
  • About JICA
  • News & Features
  • Countries & Regions
  • Our Work
  • Publications
  • Investor Relations

Bahan

Cikal-bakal Learning Society di Jepang

Cikal Bakal Learning Society di Jepang di tahun 1920-an

Memperluas (PDF/151KB)

Kemudian foto-foto lama dari tahun 1920-an yang ada di Jepang. Pada saat itu sudah ada komunitas cikal bakal pembelajaran di Jepang. Di ambil di sekolah yang pelopor. Dan bisa dilihat jaman itu sudah ada pola yang berlaku di saat ini. Anak kecil berpasangan belajarnya.

Visi Learning Society

Memperluas (PDF/103KB)

Saya ingin menjelaskan tentang komunitas learning society. Saya sendiri selama 20 tahun, seminggu 2 kali mengunjungi berbagai sekolah-sekolah yang ada disana. Saya mengunjungi sekolah bukan untuk memberi ceramah. Melalui ceramahnya saja, sekolah tidak akan berubah. Jadi saya mengunjungi sekolah untuk bekerjasama dengan guru-guru yang ada di sekolah bersama-sama melakukan reformasi. Dan sampai saat ini sudah 2500 sekolah yang saya kunjungi. Selama 10 tahun pertama saya mengunjungi sekitar 1000 sekolah dan semuanya gagal. Dan saya baru mendapatkan kesuksesan setelah mendapatkan kegagalan dari 1000 sekolah. Jadi mengubah pola sekolah itu tidak segampang yang dibayangkan. Cukup berat tantangannya. Mengubah pola dan materi pengajarannya juga tidak mudah. Tapi kalau tidak tahu kesulitan seperti itu sulit juga membantu pelaksanaan reformasi sekolah. Guru kebanyakan keras kepala. Apalagi kepala sekolah. Apalagi pemerintah atau kepala administrasi yang menangani hal itu. Tapi begitu juga anak-anak siswanya. Apalagi orang tuanya. Bagaimana melakukan reformasi? Tidak ada jalan.

3 Fakta dari Filosofi Learning Community

Memperluas (PDF/107KB)

Dalam kondisi tersebut, tantangan kita adalah bagaimana melakukan reformasi atau mengubah sekolah. Ada 3 poin. 1). Menjamin hak belajar semua anak. Semuanya. Rupanya gampang, tapi tidak mudah. Contoh : Anak-anak TK masih semangat mau belajar. Sudah mau masuk SMA, cukup banyak yang patah semangat atau sudah menyerah belajarnya. Jadi tantangan sekolah itu berat. Sekolah itu harus berperan dan berfungsi untuk mendorong anak-anak supaya memiliki harapan terhadap pendidikannya. Dan harus memiliki suatu makna untuk belajar. 2). Bagaimana sekolah menciptakan lingkungan dan suasana agar semua guru bisa berkembang dan ikut bahagia? Hal itu juga tidak mudah. Contohnya di Jepang, guru-guru yang karirnya sampai pensiun hanya 40%. Sisa 60% itu patah semangat atau bagaimana akhirnya keluar dari karirnya. Jadi bagaimana sekolah untuk guru selalu semangat. 40% guru yang masih ada di sekolah pun banyak yang kehilangan harapan masa depan dalam dunia pendidikan. Tapi masih tetap menjadi guru semata-mata mencari uang. Bagaimana menyelamatkan sekolah seperti itu? 3). Bagaimana menjadi sekolah yang diandalkan orang tua dan lingkungan sekitar? Ini juga tidak mudah. Pada saat ini kalau di Jepang, sekolah paling takut sama orang tua. Takut dikritik orang tua. Setiap orang tua memiliki prinsip dan tuntutan yang berbeda-beda. Jadi apapun yang kita lakukan dituntut terus. Dan begitu merasa mengalami tuduhan tersebut guru akhirnya takut dan tidak melakukan apa-apa. Yang paling aman adalah tidak melakukan apa-apa. Dan kepala sekolah yang paling tahu masalah ini dan mengubah suasana ini. Jadi 1000 kali gagal akhirnya mendapatkan beberapa kunci. Jadi komunitas pembelajaran itu merupakan suatu visi dan misi yang harus kita pegang dan laksanakan.

Prinsip dan Rencana Aksi Learning Community

Memperluas (PDF/125KB)

Visi, misi, filosofi dan sistem. Itu yang akan saya jelaskan sekarang. Visi dan misi yang harus kita pegang itu adalah sekolah itu harus dijadikan wadah belajar tidak hanya bagi siswa tapi juga guru dan masyarakat sekitar. Dan tidak ada yang benci visi seperti ini. Saya yakin tidak ada yang protes dengan filosofi, visi dan misi seperti ini. Bahwa setiap siswa harus dijamin hak belajarnya. Setiap guru harus dijamin haknya dan dijamin kehidupan yang bahagia. Dan harus mendorong peningkatan prosesnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut harus kita pegang 3 filosofinya. 1) Filosofi keterbukaan. Filosofi ini sudah dipegang Pak Hatta dalam sambutan tadi adalah keterbukaan. Semua harus terbuka. Jadi setiap guru harus terbuka dan membuka kelasnya semua. Tidak boleh ada yang ketinggalan. Kalau di Jepang setiap guru melakukan Open Class 3 kali dalam setahun. Sebetulnya direncana seperti itu tapi banyak juga guru yang tidak Open Class. Jadi kalau sudah ditentukan 3 kali dalam setahun di sekolah hanya 3 guru yang open class dan gurunya itu-itu saja. Biasanya yang ditunjuk itu gurunya yang muda-muda dan masih junior dan dikritik dan saran dari guru yang lebih senior. Dan guru yang masih muda itu semakin menyerah dan patah semangat. Setelah Open Class, guru-guru senior mengajak guru junior untuk makan/minum untuk memberi saran supaya semangat lagi. Dengan berkata, waktu muda saya pun begini. Jadi seperti upacara yang harus dilalui. Tapi pola preman. Tapi kalau caranya begitu terus, reformasi kelas tidak ada perubahannya. Jadi harus semua guru buka kelas dan harus setara dengar pendapat secara setara sesama guru. Pentingnya hal itu 10 tahun setelah gagal. Jadi sepintar apapun prestasinya guru, walau tidak pernah buka kelas saya tidak mau mengakui dia sebagai guru maupun di sekolah negeri. Kenapa? Karena kalau tidak mau buka kelas, si guru menganggap siswanya mirip dia sendiri saja dan kelasnya dianggap kelas sendiri. Bukan milik siapa-siapa lagi. Jadi sekolah negeri harus punya tanggung jawab menjamin hak setiap siswa untuk belajar. Memang pentingnya demokrasi di dunia pendidikan maupun di sekolah selalu diutarakan. Namun sekolah yang paling terbelakang/ketinggalan semangat demokrasinya. Karena sekolah/dunia pendidikan ada otoritas tertentu. Jadi yang besar suaranya, besar menguasainya. Jadi siswa belum tentu diperlakukan seperti seharusnya. Saya pernah melakukan suatu survey di SMP, di sekolah tersebut jumlah siswanya sebanyak 350 orang. Kita dalam survey menghitung berapa banyak nama siswa yang disinggung dalam rapat guru dalam setahun. Hanya 35 nama siswa yang disinggung. Nama-nama yang disebut itu yang bermasalah, prestasi rendah, prestasi tinggi, prestasi di olahraga. Sisanya tidak pernah disinggung. Apakah bisa disebut demokrasi? Harusnya semua siswa diperlakukan yang sama. Begitu juga perlakuan guru. Yang suaranya besar saja yang menguasai sekolah. Tapi setahu saya guru yang suaranya besar saja kompetensinya kurang. Justru kalau guru-guru yang sangat memperhatikan siswa itu yang suaranya tidak terlalu besar. Tapi guru-guru seperti itu justru suaranya tidak didengar di sekolah. Seharusnya tidak seperti itu. Jadi demokrasi itu bagaimana kita memegang pola hidup bersama-sama dengan orang lain. Ada definisi seperti itu dalam bahasa inggrisnya, Sekolah itu harus menyiapkan wadah agar setiap orang baik siswa maupun guru dapat menjadi pelaku utama. Dan filosofi ketiga adalah sekolah harus mengajar tantangan level yang cukup tinggi. Dan untuk itu kita harus menciptakan suasana dimana setiap siswa saling mendengarkan. Jadi kita harus menciptakan komunikasi 2 arah atau dialog. Harus dimulai dari saling mendengarkan. Dan gurupun begitu. Guru yang unggul itu bukannya pandai berbicara tapi yang pandai mendengarkan suara siswa. Jadi profesi mengajar itu yang paling penting adalah mendengarkan. Begitu juga hubungan antara siswa, yaitu saling mendengarkan.  

Reformasi Terkini

Memperluas (PDF/111KB)

Dan pola pendidikan baru ini sudah tersosialisasi secara luas di Jepang. Di tingkat SD 2000 sekolah, SMP 1500 sekolah dan 300 SMA yang sudah mempraktekkannya. Jadi pola pendidikan yang memang tersosialisasi di Jepang sampai saat ini. Dan pola ini akhir-akhir ini sudah menular di negara-negara Asia.

PAGE TOP

Copyright © Japan International Cooperation Agency